Kita sering kali menganggap dunia
anak adalah dunia yang indah. Anak selalu bersenang-senang, bermain, dan belum
menghadapi masalah-masalah yang sulit dalam hidup. Benarkah dunia anak selalu indah?
Ternyata, tidak sepenuhnya benar!
Anak tidak sepenuhnya hidup dalam dunia yang aman dan terbebas dari masalah.
Bahkan bisa dikatakan masalah yang dialami oleh ibu dan ayah, juga menjadi
masalah bagi anak. Begitu pun masalah yang dialami oleh pemerintah, dapat pula
menjadi masalah bagi anak, karena biar bagaimanapun anak adalah bagian dari
kita.
Nah, buku yang ibu dan ayah pegang
saat ini adalah buku yang memberikan informasi dan panduan praktis tentang
masalah kekerasan yang mungkin dihadapi oleh anak. Di buku ini akan dibahas
tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. Antara lain
mengenai apa itu KDRT dan kekerasan seksual, apa akibatnya, fakta seputar dua
masalah tersebut, tanda-tanda mereka yang mengalaminya, dan apa yang bisa
dilakukan.
Tentu saja, buku ini tidak bermaksud
mengajari atau menganjurkan pembaca untuk mengambil keputusan tertentu, akan
tetapi lebih untuk berbagi informasi. Semoga buku ini dapat membantu mereka
yang mengalami atau mengetahui orang terdekatnya mengalami KDRT ataupun
kekerasan seksual.
KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA (KDRT) PADA ANAK USIA DINI
Ibu dan ayah mungkin sudah sering
mendengar istilah kekerasan dalam rumah tangga, yang biasa disingkat menjadi
KDRT. Banyak pemberitaan di televisi, koran, dan radio yang menceritakan
beberapa artis atau perempuan yang mengalami KDRT.
Sebagian besar dari kita beranggapan,
KDRT hanya berupa kekerasan fisik atau kata-kata kasar, padahal sebenarnya KDRT
itu ada banyak macamnya. Banyak pula yang menganggap KDRT adalah masalah
pribadi dan tabu untuk dibicarakan, padahal KDRT adalah kejahatan dan merupakan
masalah bersama. Di negara kita ada undang-undang yang khusus mengatur masalah
KDRT, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (atau lebih dikenal dengan istilah UU PKDRT). Jadi, siapa
pun yang melakukan KDRT bisa mendapat hukuman, baik berupa kurungan penjara
maupun denda.
Cukup banyak yang mengalami KDRT
memilih untuk bertahan karena menilai anak-anak membutuhkan orangtua lengkap.
Pada bacaan berikut, kita akan melihat, ternyata anak juga bisa mengalami
dampak kejiwaan atau psikologis akibat KDRT. Untuk lebih memahami soal seluk
beluk KDRT, silakan membaca tulisan ini.
Apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?
Menurut UU PKDRT No.23 tahun 2004:
KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Jadi, KDRT adalah perbuatan yang dilakukan
oleh anggota keluarga kepada anggota keluarga lain yang 1) dapat menimbulkan
luka, rasa sakit, luka berat, cacat, atau kematian; dan 2) dapat menyebabkan
orang lain merasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk melakukan sesuatu, rasa tidak berdaya, dan/atau gangguan kejiwaan berat .
Perbuatannya apa saja?
1.
Bisa berupa kekerasan fisik. Misalnya, memukul, menendang, menjambak,
mendorong, menampar,
KDRT
dan Pelecehan Seksual dalam Kehidupan AUD 9
mencubit,
melempar benda, menyiram dengan air, dihukum dengan mengangkat satu kaki, dan
masih banyak lagi.
2.
Bisa berupa kekerasan psikis. Contohnya, memaki dengan kata-kata kasar atau
binatang, memarahi di depan orang banyak, mengancam, mendiamkan, dan masih
banyak lagi.
3.
Memaksakan hubungan seksual, posisi seksual tertentu, atau memaksakan hubungan
seksual secara komersial (”melacurkan” diri).
4.
Menelantarkan, tidak merawat, tidak memelihara, membatasi, atau dipaksa bekerja
untuk mencari nafkah
Apa
jaminan hukum bagi yang mengalaminya?
Dalam
Undang-Undang PKDRT dijelaskan soal jaminan hukum bagi mereka yang
mengalaminya, yaitu:
1.
Jaminan perlindungan sementara dari pihak kepolisian dan surat perintah
perlindungan dari pengadilan.
2.
Hukuman untuk pelaku diatur sesuai dengan jenis kekerasan yang dilakukan dan
akibat yang ditimbulkan.
3.
Hak-hak bagi mereka yang mengalaminya.
Sayangnya
hanya mereka yang terikat perkawinan sah secara hukum sajalah yang dapat
dilindungi oleh UU PKDRT ini. Kekerasan yang terjadi pada masa pacaran, nikah
siri, nikah bawah tangan, atau pasangan yang hidup bersama, tidak dilindungi.
Apa akibat KDRT pada anak?
Anak bisa menjadi korban langsung
maupun tidak langsung. Maksudnya, ketika anak mengalami sendiri kekerasan, maka
anak adalah korban langsung. Namun jika anak hanya mendengar atau menyaksikan
kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya, maka anak menjadi korban tidak langsung.
Meskipun anak tidak langsung mengalami kekerasan, akibat yang muncul pada anak
sama besarnya dengan yang dialami oleh orangtuanya.
Akibat
yang mungkin muncul pada anak antara lain:
•
Anak merasa ketakutan, kebingungan, dan sangat kaget melihat kekerasan yang
terjadi pada orangtuanya.
•
Tumbuh perasaan bersalah karena menganggap diri menjadi penyebab munculnya
kekerasan.
•
Menjadi rewel, mengeluh sakit, sulit tidur, dan kembali berperilaku seperti
bayi (mengisap jempol, mengompol, berbicara menggunakan bahasa bayi atau cadel,
selalu minta digendong atau ditemani).
•
Cenderung suka melawan dan kasar atau malah justru menjadi tidak mau berteman
dan lebih memilih menyendiri.
•
Jika hal tersebut dibiarkan terus, kemungkinan bisa mengganggu perkembangan anak,
baik secara fisik, kejiwaan, perilaku, maupun prestasinya nanti.
•
Dampak jangka panjang pada anak laki-laki adalah meniru perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh ayahnya. Sedangkan anak perempuan cenderung menerima kekerasan
sebagai suatu hal yang wajar sehingga ketika dewasa nanti besar kemungkinan
akan kembali menjadi korban,
KDRT
dan Pelecehan Seksual dalam Kehidupan AUD 11
Bagaimana
dengan anak usia dini, apakah juga ada dampaknya?
Ternyata
ada, antara lain:
1. Suara keras dan adegan kekerasan
membuat anak usia dini, bahkan bayi, merasa tertekan atau stres.
2. Anak meniru perilaku kekerasan
orangtuanya dan menggunakan kekerasan ketika bergaul dengan orang lain.
Contohnya, memaki atau memukul temannya jika keinginannya tidak dipenuhi.
3. Anak belajar mengekspresikan
kemarahan dengan cara yang tidak sehat.
4. Anak mengalami kebingungan antara apa
yang dilihat dan disampaikan.
5. Anak belajar bahwa kita boleh
melakukan kekerasan, penindasan, dan pembedaan (diskriminasi) terhadap mereka
yang dianggap lemah.
6. KDRT membuat orangtua tidak dapat
selalu memenuhi kebutuhan anak usia dini, padahal anak usia dini memerlukan
suasana yang aman agar ia bisa belajar mengembangkan diri, mengungkapkan
perasaan, dan menumbuhkan kemandiriannya.
HARAP
DIINGAT, akibat di atas memang umumnya muncul pada anak korban KDRT, akan
tetapi tidak semua anak atau balita yang menunjukkan masalah atau dampak di
atas PASTI mengalami KDRT.
Keluar atau bertahan?
Meskipun
dampak yang ditimbulkan tidak ringan, namun banyak korban KDRT memilih untuk
bertahan. Mengapa? Apakah karena ia memang “menikmati” kekerasan? Apakah
korbannya “bodoh”? Ataukah sangat mencintai pasangannya sehingga menerima saja
perlakuan kekerasan yang dialami?
Ternyata,
alasannya BUKAN itu semua. Korban memilih bertahan karena:
1.
Merasa bingung akan sikap pasangannya yang kadang-kadang kasar dan brutal,
namun terkadang menunjukkan sikap baik, tenang, bahkan menyesali perbuatannya.
Yang perlu disadari adalah yang bisa mengubah si pelaku hanya DIRINYA SENDIRI.
Perubahan tersebut mungkin terjadi jika pelaku mengikuti serangkaian proses konseling
khusus dan diikuti oleh keinginan yang kuat untuk berubah.
2.
Tidak bekerja dan merasa tidak memiliki keahlian.
3.
Khawatir akan masa depan anak-anak. Korban khawatir kondisi kejiwaan anak akan
terganggu jika tidak memiliki orangtua lengkap; khawatir jika sudah dewasa
tidak ada yang mau menikahi anaknya karena berasal dari keluarga berantakan
(broken home); dan khawatir tidak ada yang menjadi wali nikah untuk anaknya.
4.
Khawatir akan penilaian masyarakat tentang perempuan yang bercerai.
5.
Takut melanggar ajaran agama dan berdosa.
Bagaimana
membantu mereka?
Jika
orang yang dekat dengan kita, baik keluarga maupun teman, mengalami kekerasan
sehingga menyebabkan mereka mendapatkan masalah yang berat dan terus-menerus,
mungkin kitalah yang dapat membantu mereka keluar dari situasi yang tidak
menguntungkan ini.
AYO,
PEDULI! Keluar dari kekerasan tidak semudah kelihatannya. Mereka sangat
membutuhkan bantuan kita. Dalam mendampingi mereka, inilah yang dapat kita
lakukan:
Kepada
orang dewasa:
•
Bicaralah dengannya di tempat yang aman dan nyaman. Sediakan waktu untuk
mendengarkan ceritanya. Cobalah untuk memahami dan hindari sikap menyalahkan.
Ingat, peran kita adalah sebagai pendengar bukan untuk menyelidiki.
•
Dorong dan dampingi dia untuk memperoleh bantuan profesional (petugas medis,
konselor, psikolog, polisi, pendamping hukum, atau pengacara).
•
Hargai apa pun keputusannya, baik itu tetap tinggal bersama pelaku atau
meninggalkan pelaku. Jikapun ia memutuskan tetap tinggal bersama suaminya, kita
tetap harus memberikan informasi seputar KDRT dan nyatakanlah kekhawatiran kita
akan keselamatan dirinya.
•
Tegaskan apa yang bisa dan tidak bisa kita bantu.
•
Ketenangan, kehadiran, dan sedikit kata-kata lebih bermakna daripada nasihat
panjang lebar
Kepada
anak:
•
Dengarkan cerita anak. Hindari memaksa anak untuk bercerita. Ingat, peran kita
bukan untuk mencari bukti atau menyelidiki.
•
Akui perasaan anak, misalnya dengan mengatakan, ”Kamu pasti sangat ketakutan.”
Sampaikan terima kasih karena anak mau percaya dan betapa kita lega anak mau
bercerita. Sampaikan pula, bukan dia yang menyebabkan kekerasan terjadi.
•
Ikuti kecepatan anak. Anak sulit menceritakan satu hal dalam waktu lama.
Hindari memaksa anak untuk terus menceritakan topik yang sama.
•
Ajak orangtua yang juga menjadi korban untuk berbicara. Pilih tempat yang sepi
dan aman, sampaikan kekhawatiran kita atas kondisi anak.
Apa
yang sebaiknya TIDAK kita lakukan?
1.
Terlalu banyak berbicara atau menasihati.
2.
Terlalu banyak menanyakan fakta dan kurang menanyakan apa yang dirasakannya
saat itu. Misalnya, memintanya untuk menceritakan peristiwa kekerasan dengan
lengkap. Hal ini dapat sangat melelahkan bagi mereka.
3.
Menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dipenuhi. Misalnya, selalu mendampingi anak
setiap saat, melindungi anak, menjanjikan ibunya tidak lagi disakiti, atau
menjaga rahasia. Lebih baik katakan, kita mungkin akan menyampaikan kepada
beberapa orang yang barangkali bisa membuatnya aman.
4.
Menyalahkan korban.
5.
Menyalahkan pelaku. Korban mungkin merasakan berbagai macam perasaan.
a.
Anak mungkin sangat membenci kekerasan yang dilakukan pelaku, namun di sisi
lain suka bermain dengan pelaku.
b.
Istri mungkin membenci kekerasan yang dilakukan suaminya, namun di sisi lain
anak-anak selalu menanyakan ayahnya.
Jika
kita menyalahkan pelaku, istri ataupun anak akan berusaha melindungi pelaku dan
tidak lagi mau cerita.
6.
Tidak sabar.
7.
Menunjukkan perilaku yang terlalu mengasihani. Contohnya, selalu memanjakan,
melayani, menghindarkannya secara berlebihan dari situasi tidak menyenangkan,
dan tidak memberikannya kesempatan untuk mencoba sendiri hal-hal yang
sebenarnya bisa ia lakukan sendiri.
Bagaimana
jika diri sendiri yang menjadi korban KDRT?
Tidak
mudah mengatasi dampak peristiwa sulit yang berulang, seperti KDRT. Berikut
adalah beberapa hal yang mungkin bermanfaat:
Dalam
keadaan darurat:
•
Hindari berlindung di tempat yang sempit dan banyak terdapat benda berbahaya,
seperti dapur, kamar mandi, atau gudang (tempat penyimpanan).
•
Masuklah ke dalam ruangan yang memiliki jendela, pintu, atau telepon, sehingga
kita dapat meminta bantuan dari orang lain. Kunci pintu dari dalam.
•
Minta bantuan dari orang lain. Pikirkan siapa (teman atau tetangga) yang bisa
dipercaya dan dapat dimintai bantuan. Teman ini nantinya dapat berperan sebagai
saksi jika diperlukan. Apa yang kita alami adalah kejahatan, bukan aib atau
masalah keluarga yang harus ditutupi.
Jika
terluka:
•
Segera obati di puskesmas atau rumah sakit terdekat. Simpan bukti biaya
pengobatan di tempat yang aman. Bukti tersebut bisa mendukung kita jika ingin
melaporkan kekerasan yang terjadi ke kantor polisi atau kantor tempat pasangan
bekerja.
•
Jika memungkinkan, fotolah memar atau luka yang dialami. Aktifkan keterangan
tanggal dan jam pada kamera tersebut. Nantinya foto ini dapat dijadikan bukti
pendukung jika ingin melapor.
Jika
ingin melapor:
•
Meski sulit, cobalah untuk menenangkan diri. Jika masih mengalami kesulitan,
mintalah bantuan orang lain atau lembaga yang biasa menangani masalah KDRT.
Pikirkan masak-masak sebelum mengambil keputusan yang besar. Bicarakanlah
dengan orang yang kita percaya.
•
Siapkan bukti berupa buku nikah, foto luka, kuitansi rumah sakit, keluarga atau
teman yang mengetahui kekerasan yang terjadi, dll.
•
Hubungi lembaga yang biasa melakukan pendampingan korban KDRT.
•
Segera hubungi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres tempat
kejadian berlangsung. Sebutkan nama pelakunya. Ceritakan apa yang terjadi
secara lengkap. Jangan lupa, catat nama dan pangkat petugas tersebut. Bila kita
jauh dari Polres, hubungi kantor polisi terdekat.
Agar
anak aman:
•
Untuk anak usia dini:
-
Ketika sedang bertengkar, usahakan tidak di depan anak.
-
Usahakan anak tidak sedang berada dalam gendongan kita.
-
Segera pindahkan anak ke ruangan lain yang lebih aman, namun mudah untuk
dijangkau.
•
Untuk anak yang lebih besar:
-
Ajari mereka untuk tidak ikut dalam pertengkaran, meski sebenarnya mereka ingin
menolong.
-
Ajari mereka bagaimana caranya menghubungi kerabat atau keluarga yang bisa
dimintai bantuan.
-
Ajari mereka untuk menghubungi polisi, memberikan alamat dan nomor telepon
rumah kepada polisi.
-
Katakan kepada mereka untuk menjauhi dapur, kamar mandi, atau gudang, selama
ibu dan ayahnya bertengkar. Jika dirasa kekerasan yang terjadi semakin sering
terjadi dan semakin berat, pikirkan keselamatan diri dan anak. Segera buat
rencana penyelamatan diri. Mintalah bantuan dari lembaga yang biasa mendampingi
perempuan dan anak.
Bagaimana
jika anak bertanya soal KDRT yang dialami?
1.
Usahakan tenang dalam menghadapi situasi dan tidak terbawa emosi.
2.
Jujur pada anak. Berbohong dengan maksud melindungi anak tentang kekerasan yang
terjadi justru akan membuat anak menjadi bingung dan tidak dapat memercayai
kita.
3.
Jelaskan kepada anak dengan menggunakan bahasa yang sederhana bahwa kekerasan
tidak boleh dilakukan apa pun alasannya. Contoh, ”Kamu masih ingat waktu
dipukul Indah? Ibu ingat waktu itu kamu menangis. Enggak enak ya, Nak, rasanya.
Itu makanya kenapa kita tidak boleh memukul, ya, Nak.”
4.
Yakinkan anak bahwa kekerasan yang terjadi bukanlah kesalahan anak. Misal,
”Kamu tadi melihat Ayah bertengkar ya sama Ibu? Ayah lagi marah sama Ibu, Nak.”
5.
Yakinkan anak bahwa kekerasan bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah dan
bukan pula hal yang dibenarkan, terutama bila anak berubah menjadi sering
melawan dan kasar. Umpama, ”Kamu ingat waktu Ayah memarahimu ketika kamu lagi
main sama Suci? Malu ya, Nak? Sedih ya, Nak? Kalau kamu marah, kamu bilang aja
sama temanmu, ’Aku enggak suka main sama kamu karena kamu jahat.’ Jadi, enggak
usah lempar mainan atau teriak-teriak ya, Nak.”
6.
Dengarkan cerita/keluhan anak.
7.
Tetap menerapkan aturan yang sama seperti sebelumnya. Misalnya, jadwal bangun
tidur, makan, dan waktu tidur.
8.
Jika masih mengalami kesulitan dan memungkinkan, kita bisa menghubungi lembaga
yang memberikan layanan konseling psikologis.
KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK USIA DINI
Mungkinkah terjadi kekerasan seksual
pada anak usia dini? Mungkin saja dan banyak kasus yang sudah dilaporkan.
Bacaan berikut mungkin bisa membantu ibu dan ayah untuk lebih memahami tentang
kekerasan seksual pada anak usia dini. Semoga informasi yang diberikan bisa
membantu kita untuk mengenali dan membantu mereka yang mengalaminya.
Apa itu kekerasan seksual?
Kekerasan seksual adalah suatu
perilaku yang menjurus pada hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seks, baik
berupa kata-kata maupun perbuatan yang tidak disetujui oleh korbannya,
merendahkan korbannya, atau memanfaatkan korbannya. Jadi, kekerasan seksual
dapat berupa kata-kata atau candaan (humor) porno, memperlihatkan bagian tubuh maupun
gambar porno, menyentuh bagian tubuh, sampai dengan memaksa melakukan hubungan
seksual.
Jika korbannya adalah anak, sangat
besar kemungkinan anak akan diam dan tidak melawan. Sangat besar pula
kemungkinan pelakunya tidak mengancam anak. Hal ini bukan berarti anak suka dan
mau atau istilahnya suka sama suka. Anak mungkin saja bingung dan tidak tahu
apa yang sedang terjadi, sehingga kelihatannya anak juga mau melakukan hubungan
seksual. Undang-undang negara kita yang khusus mengatur tentang perlindungan
anak (UU Nomor 23 Tahun 2002) berbunyi: segala bentuk tindakan seksual yang
dilakukan dengan anak di bawah 18 tahun tergolong sebagai kekerasan seksual. Baik
itu ada perlawanan atau tidak, ancaman atau tidak, paksaan ataupun tidak, tetap
digolongkan sebagai kekerasan seksual. Pelakunya diancam kurungan penjara dan
denda.
Apa saja bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak usia dini?
1.
Meminta anak melihat bagian tubuh dan/atau kelamin.
2.
Meminta anak memperlihatkan bagian tubuh dan/atau kelamin.
3.
Meminta anak melihat gambar porno atau menonton film porno.
4.
Membelai, menyentuh, mencium, atau meremas bagian tubuh anak.
5.
Meminta anak membelai, memegang, mencium, meremas tubuh dan alat kelamin orang
dewasa.
6.
Melakukan hubungan seksual (perkosaan).
Apa akibat kekerasan seksual pada anak?
Akibat
yang muncul sangat bervariasi, antara lain anak mungkin:
1.
Sangat tertarik terhadap perilaku seksual, misalnya dengan meraba-raba atau
memainkan alat kelaminnya sendiri (masturbasi).
2.
Takut pada lawan jenis atau orang dewasa.
3.
Merasa dikhianati.
4.
Bingung.
5.
Sangat marah dengan pelaku, orang dewasa lain, lawan jenis, atau pada diri
sendiri.
6.
Menyakiti diri, melawan, kasar, prestasi buruk di sekolah. Pada anak remaja
mungkin bisa sampai putus sekolah.
Mengapa
anak tidak menceritakan kekerasan seksual yang mereka alami?
1.
Anak tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ada yang baru menyadarinya
ketika remaja, ada pula yang merasa tidak nyaman namun tidak mengerti apa yang
harus dilakukan.
2.
Anak merasa bingung, khawatir, dan takut kalau ibu dan ayahnya akan marah atau
sedih.
3.
Anak mengira peristiwa itu terjadi karena kesalahan mereka.
4.
Pelaku mengancam dengan cara halus maupun kasar. Misalnya, kalau tidak
mengikuti keinginan pelaku, anak akan dimarahi. Ada juga yang mengatakan, kalau
tidak menurut, maka pelaku bisa sakit, atau pelaku akan dimarahi oleh ibu dan
ayah mereka. Pelaku bisa juga mengancam akan melakukan kekerasan pada diri anak
itu sendiri atau pada benda yang mereka sayangi (keluarga, binatang, mainan
kesayangan, dll.).
5.
Anak merasa sangat bingung jika ternyata kekerasan yang mereka alami itu
menyenangkan buatnya. Sering kali pelaku memulai kekerasan dengan cara
memberikan rangsangan lembut pada tubuh dan alat kelamin anak, tapi ini bukan
berarti anak menikmatinya. Tubuh anak secara otomatis merasakan kenikmatan.
Nah, karena anak tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, maka anak merasa
sangat ketakutan, merasa malu dan bersalah. Pelaku biasanya sengaja mengatakan
kepada anak bahwa reaksi anak muncul karena anak menyukainya, misalnya jika
alat kelamin anak laki-laki menjadi tegang (ereksi).
6.
Ketika melakukan aksinya, pelaku sering kali memanfaatkan ketakutan anak.
Umpama, kalau tidak menurut nanti akan dikejar setan, tidak ditemani, atau
tidak disayang.
7.
Pelaku membujuk anak dengan permen, uang, mainan, atau barang kesukaan anak.
8.
Sangatlah SULIT bagi anak untuk mengatakan TIDAK pada pelaku, terlebih jika
pelaku tersebut adalah orang dewasa yang mereka percayai dan kasihi, seperti
ayah, kakak, paman, kakek, atau guru.
Bagaimana
jika anak kita yang menjadi korban?
1.
Segera ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk memeriksakan kemungkinan
adanya luka. Simpan kuitansi pembayaran karena bisa dijadikan bukti pendukung.
Simpan pula pakaian anak.
2.
Pikirkan baik-baik apa yang akan dilakukan. Diskusikan dengan pasangan kita.
Ingat, bukti luka yang ada di tubuh anak mudah sembuh. Jika ingin melapor,
semakin cepat melapor akan semakin baik.
3.
Ingat, anak kita adalah korban. Sering kali ibu dan ayah memarahi dan
menyalahkan anak, semisal, kenapa anak bermain dengan pelaku, tidak cerita,
atau teriak. Sikap ini justru akan membuat anak merasa bersalah.
4.
Terimalah anak apa adanya. Anak perempuan kita memiliki nilai yang lebih dari
sekadar keperawanan. Sementara anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual
juga belum tentu ketika dewasa nanti hanya menyukai sesama laki-laki. Anak
punya banyak kemampuan dan kelebihan yang perlu dikembangkan. Dengan menganggap
anak telah rusak atau kotor, kita justru akan membuat kondisi kejiwaan anak
semakin buruk.
5.
Jika ada, carilah lembaga yang dapat memberikan layanan konseling karena anak
akan sangat membutuhkannya, meskipun akibatnya mungkin saja belum terlihat.
Kita pun akan sangat membutuhkan layanan ini.
6.
Perhatikan kesehatan ibu dan ayah. Anak sangat membutuhkan kita saat ini. Meski
sulit, cobalah untuk tetap makan dan istirahat yang cukup.
Jika
ingin melapor:
•
Siapkan bukti berupa pakaian anak, fotokopi rekam medis atau surat dari dokter,
dan kuitansi pembayaran rumah sakit.
•
Laporkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres tempat kejadian
berlangsung. Jika tidak yakin di mana tempat kejadiannya, laporkan ke UPPA
Polda di daerah tempat tinggal ibu dan ayah. Catat nama petugas dan tanggal
kita melapor. Jika tidak ada UPPA atau jauh dari Polres dan Polda, laporkan ke
kantor polisi terdekat. Namun akan lebih baik jika melapor langsung ke UPPA
Polres atau UPPA Polda.
•
Hubungi lembaga yang melakukan pendampingan untuk perempuan dan anak. Dengan
didampingi, ibu dan ayah akan merasa lebih kuat. Jika anak menunjukkan
perubahan perilaku:
•
Anak ketakutan atau menangis.
Berikan
pelukan dan yakinkan anak bahwa ibu dan ayah bersamanya.
•
Anak mengalami mimpi buruk.
Tenangkan
anak, berikan pelukan dan belaian lembut. Jika perlu, tidurlah bersama anak.
•
Anak melawan atau mengamuk.
Ajak
anak ke tempat sepi, peluklah ia, dan katakan bahwa kita tahu ia marah dengan
pelaku dan dengan apa yang terjadi. Sampaikan bahwa kita pun marah dengan
pelaku.
•
Anak menunjukkan kegiatan seksual dalam permainan, dengan orang lain, atau
dengan kelaminnya sendiri.
Ajak
anak ke tempat sepi sehingga ibu dan ayah bisa berbicara dengan anak tanpa ada
yang mengganggu, Tanyakan kepada anak, mengapa ia melakukan hal tersebut. Jika
ia mengatakan pelaku melakukannya kepadanya, sampaikan bahwa apa yang dilakukan
oleh pelaku kepada anak adalah perbuatan yang salah dan tidak boleh dilakukan.
Hindari memarahi anak, apalagi memarahi di depan umum.
Apabila
ibu dan ayah menemukan kesulitan, cobalah menghubungi lembaga yang biasa
mendampingi anak yang mengalami kekerasan seksual. Akan lebih baik jika dapat
menghubungi lembaga yang memberikan layanan konsultasi psikologis. Tip
Menghindarkan Anak dari Kekerasan Seksual
1.
Ajarkan sejak masih kanak-kanak tentang tubuhnya termasuk alat kelaminnya.
Jelaskan pula perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
2.
Ajarkan perilaku yang wajar dalam pergaulan. Misalnya cium tangan kepada orang
yang lebih tua, bergandengan tangan dengan teman, mencium pipi orangtua, atau
dicium pipinya oleh orangtua.
3.
Bedakan antara sayang, cium, dan pelukan. Seringkali kita mengajarkan anak
untuk mencium atau memeluk orang lain dengan kata-kata ”ayo ade, sayang nenek”
padahal maksudnya anak diminta untuk mencium tau memeluk nenek.
4.
Ajarkan bagian tubuh yang TIDAK BOLEH disentuh oleh orang lain, termasuk
ayahnya. Jelaskan pada anak bahwa beberapa orang dewasa akan mengancam atau
memberikan hadiah supaya mereka dapat menyentuh bagian-bagian tertentu.
5.
Jelaskan kepada anak bahwa ia harus cerita ke kita jika ada orang dewasa yang
membujuk atau memaksa melakukan sesuatu yang mereka tidak suka. Misalnya
meminta melihat bagian tubuh orang lain, memperlihatkan tubuhnya, atau
menyentuh tubuhnya.
6.
Selalu berkomunikasi dengan anak mengenai apa saja, bahkan tentang hal-hal yang
dianggap tabu seperti menstruasi, mimpi basah, dan kematian.
7.
Percaya pada perasaan kita dan anak. Ajarkan kepada anak untuk mempercayai
perasaannya atau penilaiannya terhadap seseorang. Katakan kepada mereka bahwa
tidak apa-apa jika mereka tidak suka dengan seseorang.
8.
Perhatikan orang-orang yang dekat atau berhubungan dengan anak kita, misalnya
pengasuh anak. Kalau perlu minta pendapat orang lain.
9.
Ingatlah bahwa pelaku kekerasan seksual kebanyakan adalah orang yang dikenal,
dipercaya, dan disayangi oleh keluarga
FAKTA SEPUTAR KDRT
•
Terjadi pada siapa saja, berapa pun usianya, status ekonominya, latar belakang
pendidikannya, apa pun pekerjaannya, agamanya dan asal sukunya.
•
Ada perilaku kekerasan yang berulang dan mungkin saja bentuk kekerasannya lebih
dari satu: bisa kekerasan fisik dan seksual; kekerasan fisik dan psikis;
kekerasan fisik, psikis, dan seksual; atau mengalami semua bentuk kekerasan.
•
Kekerasan dipelajari.
•
Pelaku memilih untuk melakukan kekerasan sehingga KDRT yang terjadi bukan
disebabkan oleh korbannya ataupun karena masalah dalam hubungan perkawinan.
•
Rumah tangga yang mengalami kekerasan, umumnya memiliki anak, termasuk anak
usia dini.
•
Anak usia dini sangat mungkin mengalami luka karena mereka biasanya berada
dekat orangtuanya selama kekerasan terjadi.
•
Anak yang hidup dalam keluarga dengan KDRT cenderung telantar dan kurang
terawat.
•
Meski anak tidak mengalami langsung, pengalaman mendengar atau melihat
kekerasan yang terjadi dapat memengaruhi anak.
•
Kebanyakan aAnak dari keluarga dengan KDRT lebih bermasalah dibandingkan dengan
anak dari keluarga yang bercerai.
TANDA-TANDA ADANYA KDRT
Pada ORANG DEWASA :
•
Adanya memar-memar dan tanda lain (misalnya, bekas sundutan rokok) di kulit
dengan alasan “jatuh” atau “terantuk pintu”, dll.
•
Murung atau sedih.
•
Sering terlambat dan tiba-tiba tidak masuk kerja, pengajian atau arisan.
•
Sering menerima telepon yang mengganggu selama berkegiatan di luar rumah.
•
Takut pasangannya marah.
•
Menurunnya semangat, hasil kerja, kreativitas, dan konsentrasi.
•
Tidak bergaul, menjauhi teman-teman dan keluarga.
•
Penggunaan uang yang sangat dibatasi.
Pada
ANAK :
•
Adanya memar-memar dan tanda lain (misalnya, sundutan rokok, dll.) pada tubuh
dengan alasan yang tidak masuk akal.
•
Murung atau sedih.
•
Sering terlambat dan tiba-tiba tidak ikut kegiatan atau tidak masuk sekolah.
•
Takut sendirian, takut salah.
•
Menurunnya semangat, prestasi belajar, kreativitas, dan konsentrasi.
•
Perubahan perilaku secara tiba-tiba, misalnya menjadi kasar dan pemarah, atau
justru tidak mau bergaul, menjauhi teman-teman.
•
Mengatakan membenci orangtuanya atau takut orangtuanya marah.
•
Terlihat tidak terawat.
Tanda-tanda
di atas adalah tanda-tanda yang biasanya terdapat pada korban KDRT. Namun belum
tentu yang menunjukkan tanda-tanda tersebut pasti korban KDRT.
PENUTUP
Tidak
ada seorang pun yang berharap akan mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun.
Setiap anak pasti ingin dikasihi dan disayangi oleh ibu dan ayahnya maupun
orang-orang di sekitarnya. Masalah KDRT dan kekerasan seksual adalah masalah
kita bersama. Dengan bersikap peduli terhadap masalah ini, kita bisa membantu
mereka keluar dari masalah yang mereka anggap tabu untuk dibicarakan.
Jika
ibu dan ayah yang menjadi korban KDRT atau ananda yang menjadi korban kekerasan
seksual, ibu dan ayah tidak sendiri. Ada banyak orang yang peduli dengan apa
yang ibu dan ayah alami, juga banyak lembaga yang bisa membantu ibu dan ayah.
Cari informasi lembaga di daerah tempat tinggal ibu dan ayah yang bisa membantu
memilih jalan keluar lebih
KDRT
dan Pelecehan Seksual dalam Kehidupan AUD 33
baik.
Ibu dan ayah mungkin akan menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah
tersebut, namun percayalah, sedikit demi sedikit ibu dan ayah akan dapat
melaluinya, terutama jika ibu dan ayah mau membuka diri dan mencari bantuan.
KDRT
dan Pelecehan Seksual dalam Kehidupan AUD
Vitria
Lazzarini, M.Psi
Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak
Usia Dini
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini Nonformal dan Informal
Kementerian Pendidikan Nasional
Tahun 2011
Sumber
Bacaan :
Lepas
dari KDRT: Panduan untuk Menolong Diri • Sendiri, Vitria Lazzarini dkk.,
Yayasan Pulih dan ICCO Netherland, 2009.
Understanding
the Effects of Domestic Violence on • Children: a Trainer’s manual for Early
Childhood Educators, Linda Baker dkk, Centre for Children and Families in the
Justice System.
Sexual
Abuse of Children and Adolescence: a • Preventive Guide for Parents, Teachers,
and Counselors, William Prendergast, Continuum Pub, 1996.
http://www.helpguide.org/mental/child_abuse_•
physical_emotional_sexual_neglect.html
http://www.vcu.edu/vissta/training/va_teachers/faq.•
html
0 comments:
Post a Comment